Mantra dan Lelaki yang Pergi
Di sebuah pagi yang berhujan, ia menyusuri jalan tanpa alas kaki bak orang linglung. Ia hanya mengenakan sebuah kaos warna putih lusuh dan celana pendek selutut. Ia terus berjalan tanpa menoleh dan tak berbicara kepada siapa pun. Ketika itu umur saya 10 tahun. Tak ada yang tahu ia pergi ke mana. Dan hari itu, adalah pengingat terakhir kali saya mengenalnya sebagai seorang yang ceria dan senang tertawa.
Sejak hari itu pula, saya selalu merindukannya. Setiap liburan, ia pulang ke rumah orang tua saya. Ia selalu datang bersama teman-temannya. Semuanya mengenakan seragam tentara. Mereka mengendarai mobil dan membawa senapan angin. Pada pagi hari, ketika burung-burung bercericit di atas dahan pepohonan, mereka akan mengambil senapan itu. Mengisinya dengan peluru kecil dan mengokang pelatuknya.
Di halaman samping rumah kami ada pohon jeruk tua yang rindang. Burung-burung pipit dan tekukur senang berjumpalitan di dahannya setiap pagi. Sekali dua ada yang jatuh ke tanah, roboh oleh peluru senapan. Saya akan berlari ke bawah pohon memungutinya. Mengelus bulu-bulunya yang halus. Burung-burung yang malang. Nenek saya akan mengulitinya dan memanggangnya di atas perapian. Rasanya enak, kata dia. Tapi saya tidak senang makan daging.
Teman-temannya selalu menyenangkan. Mereka senang mengajak saya bermain-main. Atau berkeliling naik mobil. Saat pulang, mereka akan memberi saya selembar pecahan seribuan. Uang kertas berwarna biru. Ketika itu uang seribu rupiah sangat besar nilainya bagi anak-anak. Anak-anak selalu gembira jika diberi sesuatu oleh orang dewasa.
Lalu kemudian, semuanya tinggal kenangan. Ada hal-hal yang masih saya ingat dengan jelas. Ada pula yang samar-samar. Mungkin lebih banyak yang sudah terlupakan. Saya tidak mengerti kenapa di masa kanak-kanak banyak sekali hal-hal yang menyenangkan, lalu hilang seiring masa dewasa.
Bukan hanya saya yang kehilangan kenangan manis itu, tapi semua orang yang menyayanginya. Mungkin ia sendiri merasakan banyak kehilangan. Hati orang siapa yang tahu kan? Ia tidak hanya kehilangan kebahagiaan. Ia kehilangan hidup dan masa depannya. Kehilangan pekerjaan dan teman-temannya. Direnggut oleh orang-orang yang merasa lebih tahu skenario masa depannya. Dan mereka melakukannya atas nama cinta.
Sejak pagi yang berhujan itu, orang-orang mengenangnya sebagai seorang yang berkhianat. Pada keluarga, istri dan seorang anak kecil yang belum lagi mampu mengucap sepatah kata.
Kata seorang teman, ketika kau memaksakan kehendakmu dengan kekuatan yang tak melibatkan Tuhan, ada saatnya kekuatan itu usang. Hilang dan menyisakan penyesalan.
Telinga kanak-kanak saya mendengar desas-desus. Mereka sekeluarga pernah mengunjungi seorang sakti. Dari dermaga, berperahu mengunjungi sebuah pulau kecil. Di sana mereka mengungkapkan hajat tentang dua anak manusia yang harus bersatu. Keluarga keduanya saling suka. Dan mereka meminta pertolongan, agar dua sejoli yang tak saling kenal itu bisa jatuh cinta. Benar saja. Hanya beberapa saat setelahnya, keduanya menjadi tak terpisahkan. Entah mantra apa yang menyatukan mereka.
Laki-laki selalu memiliki kekuatannya sendiri. Mereka tak gentar oleh luka-luka. Dan mungkin mereka selalu punya cara menghapuskan rasa cinta dan melupakan seseorang yang menyayanginya. Tapi hati perempuan, tak ada yang mampu menebaknya. Sekali sebuah luka tergores, sembuh adalah hal yang nyaris mustahil. Luka yang terlihat dengan mata gampang terobati. Tapi yang tersimpan dalam batin tetap deras mengucurkan darah meski bertahun-tahun lamanya. Kadang kala tak sembuh hingga mati. Tak ada yang tahu.
Wanita itu telah menunjukkan kesetiaannya dan menunggu bertahun-tahun. Namun lelaki yang ia tunggu tak juga bergeming. Orang-orang bahkan tak tahu keberadaannya. Tak ada yang mampu merubuhkan kesetiaan wanita itu. Tapi keluarganya menginginkan ia hidup lebih baik dan melupakan seluruh kenangan bersama lelakinya. Di ruang pengadilan, hakim mengetuk palu tanpa kehadiran si lelaki. kebahagiaannya singkat sekali.
Belakangan saya tahu, lelaki itu pergi menemui kekasihnya yang dulu ia tinggalkan karena mantra itu. Cinta selalu menemukan jalannya untuk kembali meski ia dipisahkan secara tidak manusiawi.
Sementara lelaki mungil yang tak pernah mengenal ayahnya itu kini beranjak dewasa. Dulu, ayahnya pernah kembali untuk menemuinya. Tak ada yang merestui. Tapi anak laki-laki akan selalu merindukan ayahnya. Tak ada ranting yang membenci akar. Sekalipun kau membesarkan pohon itu tanpa rasa cinta. Ia pamit hendak pergi menemui ayahnya. Ayahnya berjanji akan menjemputnya di bandara. Mereka merencanakan sebuah hidup yang lebih baik untuk masa depan sang anak. Ia akan mengajarkan anaknya menyetir mobil. Tahun depan bisa kuliah. Mereka akan hidup bersama.
Saya mengantarkannya ke bandara. “Bagaimana perasaanmu akan ketemu ayahmu?” saya bertanya. “Tidak tahu,” jawabnya dengan muka datar. Di bandara, saya menungguinya hingga punggungnya menghilang di balik kerumunan orang-orang. Saya menangis dan berbisik dalam hati: Nak, tumbuhlah dengan perkasa. Hiduplah dengan bijak. Kelak alam semesta akan selalu berpihak padamu. Meski kau dibesarkan tanpa rasa cinta.
Di hidup ini, kadang kala banyak kisah yang tak sanggup dicerna akal sehat. Yang tak sanggup kita mengerti. Seperti halnya saya yang hanya bisa berdoa untuknya. Sebab saya tidak pernah tahu, di antara mereka siapa yang lebih kuat menyimpan rasa sakit. Yang saya pahami, anak laki-laki akan selalu mencari ayahnya.
Makassar, 29 Juli 2019
0