Saya dan Oliver Twist
Saat kecil, saya sangat ingin menjadi Oliver Twist. Saya ingin jadi anak hilang, tinggal di penampungan, disekap kawanan penjahat dan dipaksa mencuri di jalanan, kemudian bertemu keluarga sebenarnya yang sangat kaya raya. Happy ending.
Pikiran kanak-kanak memang penuh imajinasi. Dan betapa imajinasi dapat mengubah dan membentuk seseorang, kelak akan menjadi apa seorang anak di masa dewasa. Kata Albert Einstein, imagination is more important than knowledge.
Saya membaca Oliver Twist saat masih di sekolah dasar, entah kelas berapa. Saya bersekolah di sebuah desa kecil. Tentu jauh dari akses toko buku. Orang tua saya, meski mendorong kami dalam hal pendidikan, tidak pernah memperkenalkan saya dengan sengaja pada buku-buku cerita. Tapi saya sudah membaca sejak SD. Banyak buku dan majalah anak-anak. Di sekolah, setiap minggu Pak Pos membawa edisi terbaru Majalah Andaka dan Bobo.
Oliver Twist adalah buku pertama yang saya baca. Buku itu sudah usang. Saya menemukannya secara tidak sengaja di laci lemari ibu saya. Sampulnya sudah tidak ada. Seingat saya, bahkan beberapa halaman pembukaanya sudah sobek. Saya tidak tahu nama penulisnya ketika itu. Saya bahkan tidak tahu bahwa itu edisi terjemahan. Saat kemudian saya kuliah di Jurusan Sastra Inggris Unhas, saya menemukannya kembali di perpustakaan. Edisi Bahasa Inggris. Dan saya mulai mengenal Charles Dickens. Dickens, sastrawan Inggris, mempublikasikan Oliver Twist pertama kali pada 1837.
Sejak mengenal Oliver Twist dan ingin menjadi dirinya, masa kecil saya tidak bisa tenang. Ketika berkunjung ke rumah-rumah saudara, yang pertama saya lakukan adalah membuka laci apa pun yang saya temukan. Sebab saya mengingat bahwa saya menemukan Oliver Twist dalam sebuah laci di rumah saya. Kadang-kadang saya beruntung menemukan buku-buku lain. Bebapa di antaranya masih saya ingat hingga kini. Ada buku yang judulnya kurang lebih: Surat-surat Anak-anak Indonesia untuk Pak Harto, ada kumpulan dongeng, dan beberapa buku cerita.
Ketika bahan bacaan saya habis, saya menjadi gelisah. Ibu saya gusar dan marah. Katanya, jangan terlalu sering membaca. Lebih baik saya membaca buku pelajaran sekolah saja. Ia takut saya jadi gila.
Di sekolah saya ada banyak buku. Buku-buku itu ditaruh dalam lemari dan rak-rak di ruang guru. Ruang perpustakaan tidak terpakai. Kaca jendela yang tak berbingkai di ruang perpustakaan pecah. Lubang di kaca itu cukup untuk seorang anak menyelinap ke dalam. Jadi, perpustakaan kami kosong melompong, meskipun lumayan luas. Isinya hanya meja-meja dan kursi-kursi tak terpakai, berselimut debu tebal.
Saya yang tiap hari melalui ruang guru, selalu gelisah ketika melihat buku-buku bersampul warna-warni dari balik kaca. Dan saya berusaha mencari cara untuk mendapatkan buku-buku itu. Anak-anak tidak bisa bebas keluar masuk ke ruang guru tentu saja. Tapi setiap jam istirahat, para guru akan berkumpul di salah satu rumah dinas di dalam area sekolah. Banyak hal mereka lakukan di sana. Makan bersama atau minum teh sambil mengobrol. Kesempatan itu saya gunakan untuk menyelinap masuk ke ruang guru. Hasrat saya terpuaskan saat bisa menyentuh buku-buku itu. Saya ambil beberapa dan saya bawa keluar diam-diam. Tentu saja saya tidak berniat mencuri. Tapi saya tidak tahan untuk tidak membawanya pulang ke rumah.
Setelah usai membacanya, saya membawanya kembali ke sekolah. Menunggu kesempatan yang sama, menyelinap masuk ke ruang guru, menaruhnya di tempat semula kemudian mengambil buku-buku baru. Semua itu berlangsung lama sebelum aksi saya ketahuan. Suatu ketika, saat saya baru saja selesai memilih-milih buku dan hendak berbalik, sebuah sosok tinggi besar sudah berdiri di hadapan saya. Dia adalah guru yang paling ditakuti di masa SD saya. Tatapannya tajam, suara menggelegar, dan kadangkala menjitak kepala anak-anak yang nakal. Ia menghadiahkan sebuah ketukan buku jari di ubun-ubun saya. Rasanya sakit sekali. Saya gemetaran. Tapi saya tetap memegang erat buku itu kemudian berlari keluar.
Anak-anak tak pernah tahu pentingnya sebuah reputasi dan nama baik. Waktu yang bergulir dijalani dengan normal tanpa banyak beban pikiran. Demikian juga saya, yang tak pernah menyadari kalau aksi saya sudah menjadi perbincangan semua guru. Tapi saya tidak pernah dipanggil menghadap atau diberi hukuman. Mungkin karena saya selalu juara kelas. Atau karena hampir semua guru memiliki hubungan baik dengan orang tua saya. Entahlah.
Beberapa hari kemudian, ruang perpustakaan dibersihkan. Kami anak-anak, diminta menyapu ruangan dan merapikan rak-rak buku. Kaca yang pecah diganti. Buku-buku di ruang guru diangkut ke perpustakaan. Setelah itu, pintu dikunci rapat-rapat. Tidak ada yang boleh masuk. Hati saya nelangsa. Tapi saya belum kehabisan akal.
Seorang kakak sepupu saya sekolah di sebuah SMA di kota. Seminggu sekali ia pulang. Dan saya melihat ia beberapa kali membawa buku bacaan dengan label perpusatakaan sekolahnya. “Di sekolahmu banyak buku? Wow!” begitu reaksi saya. Saya meminta ia meminjamkan buku untuk saya. Ia setuju. Di masa-masa itu, ia memperkenalkan saya dengan karya-karya NH Dini. Ia membawa buku 2 buah seminggu.
Saya tahu, apa pengalaman yang saya ceritakan bukan sesuatu yang menarik. Setiap orang punya cerita masing-masing tentang perkenalannya dengan buku. Tapi yang ingin saya sampaikan adalah, di Indonesia ini, mungkin banyak anak-anak yang sama gelisahnya dengan saya di masa kecil.
Sekitar 2013, di media sosial booming ide-ide membuka perpusatakaan mandiri. Banyak orang baik yang melakukan berbagai dobrakan untuk (katanya) meningkatkan minat baca anak-anak. Ada Motor Pustaka misalnya, yang berkeliling perkampungan membawa buku-buku untuk anak-anak. Ada Perahu Pustaka yang membawa buku-buku ke pulau-pulau terpencil. Semuanya demi mendekatkan akses buku kepada anak-anak.
UNICEF mencatat bahwa anak-anak Indonesia punya minat baca yang sangat rendah, hanya 0,01 %. Artinya tiap 10.000 anak, hanya 1 orang yang senang membaca. Tapi bagi saya, semua itu nonsense. Jika di akhir tahun 90-an menuju awal tahun 2000-an, sekolah saya yang notabene di sebuah desa kecil memiliki banyak koleksi buku dan rutin mendapatkan kiriman majalah anak-anak edisi terbaru, tentu saja, sesungguhnya anak-anak tak pernah jauh dari akses buku. Tidak jika guru-guru, tidak dengan sengaja menyimpan buku-buku itu dalam ruangan terkunci.
Jika anak-anak diperkenalkan dengan buku sejak awal masa kanak-kanak, para pendidik sudah bisa mengetahui dan melihat seberapa tinggi minat baca anak-anak. Jika anak-anak tak pernah didorong untuk membaca, atau bahkan menjauhkan buku-buku dari jangkauan mereka, tentu saja angka persentase minat baca anak-anak tidak akan pernah bergerak maju. Ada berapa sekolah yang mirip sekolah saya dulu: mengunci buku-buku hingga tak bisa disentuh anak-anak?
Mendirikan Pustaka-pustaka mandiri tentu saja adalah ide-ide luar biasa dari orang-orang baik. Tapi itu akan menghabiskan energi para penggagasnya. Lalu siapa yang sebenarnya bertanggungjawab membuka akses bacaan pada anak-anak? Bagi saya, yang paling utama adalah tenaga pendidik dan orang tua.
Mengenal sesuatu untuk pertama kali akan meninggalkan kesan mendalam dalam benak setiap orang. Dan demikian pula saya dengan Oliver Twist. Sosoknya tak pernah hilang dari ingatan saya hingga kini.
Selamat Hari Buku!
0